BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Perkembangan psikososial
adalah perkembangan yang membahas tentang perkembangan kepribadian
manusia khususnya yang berkaitan dengan emosi, motivasi dan perkembangan
kepribadian.
Memasuki tahun-tahun untuk sekolah
dasar, adalah perubahan yang paling penting pada perubahan anak.
Penelitian memperkirakan persentasi dari menghabiskan waktu dalam interaksi
sosial dengan sesama meningkat sekitar 10 persen pada tahun kedua
dan 30 persen pada masa pertengahan dan akhir kanak-kanak( Rubin,
Bukowski, & Parker, 2006).Awalnya, hari-hari biasa di sekolah dasar
terhitung sekitar 300 episode dengan sesamanya.Anak bepindah melalui masa
pertengahan dan akhir kanak-kanak, ukuran dari group mereka meningkat, dan
interaksi sesama menjadi kurang erat saat dewasa.
Dalam suatu investigasi , diketahui anak-anak berinteraksi
dengan teman-teman sebaya 10%dari waktu siang mereka pada usia 2 tahun, 20%
antara usia 7 dan 11 tahun. Episode bersama teman-teman sebaya berjumlah 299
per hari sekolah.
Kebanyakan interaksi teman sebaya terjadi diluar rumah
(walaupun dekat dengan rumah), lebih sering terjadi di tempat-tempat pribadi
daripada di temapat umum, dan lebih sering terjadi diantara anak-anak yang sama
jenis kelamin daripada diantara anak-anak yang berbeda jenis kelamin.
Anak yang populer memiliki kemampuan sosial yang
membuat mereka disukai. Mereka memberi penguatan, pendengar yang baik,
mempertahankan komunikasi yang saling terbuka dengan sebaya, menyenangkan,
mengontrol emosi negatif mereka, bertindak seperti mereka, menunjukkan
antusiasme dan perhatian pada yang lainya, dan self-confident tanpa menjadi
sombong.
Anak yang ditolak sering memiliki masalah
adaptasi yang serius dibandingkan anak yang kurang perhatian .suatu study
menemukan bahwa di TK anak-anak yang ditolak teman sebayanya kurang
berpartisipasi dalam kelas , lebih berekspresi menghindari sekolah dan lebih
menyendiri dibandingkan anak yang diterima teman sebaya.
1.2
Rumusan
masalah
Rumusan masalah
dalam makalah ini dipaparkan sebagai berikut.
1. Bagaimana perkembangan pada diri manusia
dalam Memahami Diri sendiri?
2. Bagaimana perkembangan hubungan diri
manusia dengan keluarganya?
3. Bagaimana perkembangan hubungan diri
manusia dengan teman sebayanya?
1.3
Tujuan
Tujuan dalam
makalah ini dipaparkan sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui Perkembangan Pemahaman
diri yang ada dalam diri
2. Untuk mengetahui perkembangan hubungan
diri manusia dengan keluarga
3. Untuk mengetahui perkembangan hubungan
diri manusia dengan teman sebaya
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
PERKEMBANGAN PEMAHAMAN DIRI
A. PENGHARGAAN DIRI
Penghargaan diri
(self-esteem) adalah keseluruhan cara yang kita pergunakan untuk
mengevaluasi diri kita. Kontroversi mencirikan sejauh mana perubahan
penghargaan-diri itu berlangsung di masa remaja dan benarkan terdapat perbedaan
gender yang menyangkut penghargaan diri remaja (Harter 2006). Berdasarkan hasil
sebuah studi diketahui bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki
penghargaan-diri yang tinggi di masa kanak-kanak. Meskipun demikian, harga-diri
mereka cenderung turun secara drastis selama masa remaja (Robins dkk,2002).
Menurut hasil studi ini, dimasa remaja, penurunan penghargaan-diri pada anak
perempuan lebih besar dibandingkan pada anak laki-laki.
Studi
longitudinal di Selandia Baru menilai penghargaan-diri remaja usia 11,13, dan
15 tahun serta penyesuaian dan kompetisi mereka ketika berusia 26 tahun
(Trzesniewski dkk., 2006). Hasilnya adalah orang dewasa yang dicirikan oleh
kesehatan fisik dan mental yang rendah, prospek ekonomi yang buruk, dan tingkat
perilaku kriminal yang tinggi cenderung memiliki rasa penghargaan-diri yang
rendah.Ketika remaja dibandingkan orang dewasa yang lebih kompeten dan berhasil
menyesuaikan diri.
Beberapa
kritikus menyatakan bahwa perubahan perkembangan dan perbedaan gender yang
menyangkut penghargaan-diri di masa remaja itu terlalu dibesar-besarkan
(Harter, 2006). Terlepas dari perbedaan hasil dan interpretasi ini,
penghargaan-diri remaja perempuan cenderung menurun paling tidak dimasa remaja
awal.
Salah satu
alasan yang diberikan adalah bahwa di masa pubertas, remaja perempuan memilki
pencitraan tubuh yang negatif. Penjelasan lain menyatakan bahwa para remaja
kecil ini memiliki minat yang lebih besar di dalam relasi sosial namun
masyarakat tidak dapat mengantisipasi minat mereka tersebut (Impett, dkk,.
2008).
Penghargaan-diri
mencerminkan persepsi yang tidak selalu sesuai dengan realitasnya (Krueger,
Vohs, & Baumeister, 2008). Penghargaan diri seorang remaja dapat
mengindikasi persepsi tentang apakah remaja tersebut pintar dan menarik, misalnya, namun persepsi tersebut
mungkin tidak akurat. Dengan demikian, penghargaan diri yang tinggi dapat
mengacu pada persepsi yang akurat
mengenai nilai seseorang sebagai manusia serta keberhasilan dan pencapaian
seseorang, namun juga dapat mengindikasi kesombongan, sama, penghargaan diri
yang rendah mengindikasikan kesombongan, berlebihan, dan merasa superior dan
yang lain. Dengan cara yang sama, penghargaan diri yang rendah mengindikasi
persepsi mengenai kekurangan atau penyimpangan seseorang, atau bahkan rasa
inferior dan ketidakamanan patologis.
Narsisme mengacu
pada pendekatan terhadap orang lain yang berpusat pada diri (self-centered)
dan memikirkan diri sendiri (self-concered). Biasanya pelaku narsisme
tidak menyadari keadaan aktual diri sendiri dan bagaimana orang lain
memandangnya. Ketidaktahuan ini menimbulakn masalah penyesuaian pada mereka.
Pelaku narsisme sangat berpusat pada dirinya (self-satisfied) dan
meyakini bahwa mereka adalah karyawan, pasangan, dan orang tua yang baik.
B. IDENTITAS
Teori perkembangan identitas
yang hingga saat ini dianggap paling komprehensif dan paling provokatif, adalah
teori yang dikemukakan oleh Erik Erikson. Identitas adalah potret diri yang
tersusun dari berbagai aspek, yang mencakup :
·
Jejak
karier dan pekerja yang ingin dirintis seseorang (identitas pekerjaan/karier).
·
Apakah
seseorang itu konservatif, liberal, atau berada diantara keduanya (identitas
politik)
·
Keyakinan
spiritual seseorang (identitas spiritual)
·
Apakah
seseorang itu lajang menikah, bercerai, dan seterusnya (identitas relasi)
·
Sejauh
mana seseorang termotivaso untuk berprestasi dan intelektualisnya (identitas
prestasi, intelektual)
·
Apakah
seseorang itu heteroseksual, homoseksual, atau biseksual (identitas seksual)
·
Latar
belakang negara seseorang dan seberapa kuatkah orang itu beridentifikasi dengan
budaya asalnya (identitas budaya/etnik)
·
Hal-hal
yang senang dilakukan seseorang, seperti olahraga, hobi, musik, dan
sebagainya (minat)
·
Karakteristik
kepribadian individual (seperti introver atau ekstrover, bersemangat atau
tenang, bersahabat atau kasar, dan seterusnya) (kepribadian)
·
Citra-tubuh
individu tersebut (identitas fisik)
Mensintesiskan
komponen-komponen identitas dapat menjadi sebuah proses yang panjang dan
berlarut-larut, yang disertai dengan banyak negasi dan afirmasi sehubungan
dengan berbagai peran dan wajah yang hendak disandang. Keputusan tidak cukup
dibuat sekali yang kemudian berlangsung selamanya, namun harus dibuat dan
dibuat kembali.Perkembangan identitas tidak terjadi secara rapi dan tid
sekaligus menyangkut perubahan yang besar (Cote, 2009).
Erik Erikson (1950, 1968) adalah
tokoh pertama yang memahami betapa pentingnya pertanyaan-pertanyaan mengenai
identitas untuk memahami perkembangan remaja. Tahap yang dialami
individu di masa remaja, yaitu tahap identitas versus kebingungan identitas (identity
versus identity confusion). Menurut Erikson, di masa ini, remaja harus
memutuskan siapakah dirinya, bagaimanakah dirinya, tujuan apakah yang hendak
diraihnya.
Pencarian identitas yang
berlangsung di masa remaja ini juga disertai oleh berlangsungnya moratorium
psikososial (psychosocial moratorium), istilah yang digunakan oleh
Erikson untuk merujuk pada kesenjangan antara keamanan kanak-kanak dan otonomi
orang dewasa. Selama
periode ini, masyarakat secara relatif membiarkan remaja bebas dari tanggung
jawab dan bebas mencoba berbagai identitas.Remaja bereksperimen dengan berbagai
peran dan kepribadian. Pada suatu waktu mereka ingin mengejar sebuah karier
(sebagai contoh, menjadi seorang pengacara) dan karier lain di waktu lainnya
(dokter, aktor, guru, pekerja sosial, atau astronot, contohnya). Mereka mungkin
berpakaian rapi di suatu hari, namun tidak rapi di hari berikutnya.Eksperimen
ini merupakan usaha yang dilakukan dengan disengaja oleh remaja agar dapat
menemukan kesesusaian mereka di dunia.Sebagian besar remaja bahkan membuang
peran yang tidak disukai.
Remaja yang berhasil mengatasi
konflik identitas akan tumbuh dengan penghayatan mengenai diri yang menyegarkan
dan dapat diterima. Remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis identitas
menderita apa yang disebut Erikson sebagai kebingungan identitas. Kebingungan
ini dapat menggejala ke dalam dua bentuk: diri mengisolasi diri dari kawan
sebaya dan keluarga, atau mereka meleburkan diri ke dalam dunia kawan sebaya
dan kehilangan identitasnya di tengah crowd-nya.
Hal penting yang terjadi di masa
perkembangan identitas di masa remaja, khususnya remaja akhir adalah bahwa di
masa ini untuk pertama kalinya terjadi perkembangan fisik, kognitif, dan
sosioemosi hingga suatu taraf yang memungkinkan individu dapat menyaring dan
mensintesiskan identitas kanak-kanak dan beridentifikasi untuk melangkah
mencapai kematangan seorang dewasa.
Peneliti beraliran Erikson, James
Marcia (1980, 1994) berpendapat bahwa teori perkembangan identitas Erikson
terdiri dari empat status identitas, atau cara yang ditempuh dalam
menyelesaikan krisis identitas :difusi identitas, foreclosure identitas,
moratorium identitas, dan pencapaian identitas. Krisis (crisis)
didefinisikan sebagai periode perkembangan identitas di individu berusaha
melakukan sebagian
eksplorasi terhadap berbagai alternative.
Sebagian besar peneliti menggunakan istilah
eksplorasi alih-alih krisis. Komitmen (commitment ) adalah investasi
pribadi di dalam identita Keempat status identitas tersebut adalah :
- Difusi
identitas (identity diffusion), status individu yang belum pernah
mengalami krisis ataupun membuat komitmen apapun. Mereka tidak hanya tidak
membuat keputusan yang menyangkut pilihan pekerjaan atau ideologi, mereka
juga cenderung kurang berminat terhadap hal-hal semacam itu
- Penyitaan
identitas (identity foreclosure) status individu yang telah membuat
komitmen namun tidak pernah mengalami krisis. Status identitas ini sering
kali terjadi jika orang tua menurunkan komitmen pada remajanya biasanya
secara otoriter sebelum remaja tersebut memiliki kesempatan untuk
mengeksplorasi berbagai pendekatan, ideologis, dan pekerjaannya sendiri.
- Moratorium
identitas (identity moratorium), adalah status individu yang berada
di pertengahan krisis namun yang komitmennya tidak ada atau hanya
didefinisikan secara kabur
- Pencapaian
identitas (identity achievement) adalah status individu yang telah
mengalami krisis dan membuat komitmen.
Remaja yang Beranjak Dewasa
Konsensus yang berkembang adalah bahwa kunci perubahan dalam identitas terjadi
ketika remaja beranjak dewasa (usia hingga 25 tahun) atau setelahnya, dan bukan
di masa remaja (Cote, 2009: Juang Syed, 2010: 2007; Luyckx dkk, 2008). Sebagai
contoh, Alan Waterman (1985, 1999) menemukan bahwa sejak tahun-tahun pertama
sekolah menengah atas hingga tahun terakhir masa kuliah, jumlah individu yang
tergolong pencapaian identitas meningkat, sedangkan individu yang tergolong
difusi identitas menurun.Jadi, mahasiswa tingkat atas cenderung tergolong
mencapai identitas dibandingkan mahasiswa tingkat baru atau siswa sekolah
menengah atas.Sebaliknya.masih banyak remaja, yang termasuk difusi identitas.
Perkembangan mental ini terutama berlaku untuk pilihan vokasional.Dalam hal keyakinan religiusitas dan
identitas, politik, lebih sedikit mahasiswa yang telah mencapai status
pencapaian sebagian besar masih dicirikan dengan penyitaan dan difusi.Jadi,
waktu perkembangan identitas tergantung pada dimensi-dimensi tertentu yang
terkait.
Meningkatnya kompleksitas
keterampilan pemalaran mahasiswa dikombinasikan dengan berbagai pengalaman baru
yang menyoroti perbedaan antara rumah dan kampus dan antara diri mahasiswa itu
sendiri dan orang lain, mendorong mereka untuk dapat mengintegrasikan berbagai
dimensi identitasnya (Phinney, 2008).
Meta-analisis terbaru terhadap 124
penelitian mengungkapkan bahwa status moratorium identitas berkembang secara
stabil hingga usia 19 tahun dan kemudian menurun: pencapaian identitas
berkembang selama masa remaja akhir dan dewasa awal : status menengah penyitaan
dan difusi menurun selama masa sekolah namun berfluktuasi di masa remaja akhir
dan dewasa awal (Kroger, Martinussen 6 Marcia, 2010). Sebagian besar individu
masih belum mencapai identitasnya ketika dewasa awal.
Resolusi masalah identitas di masa
remaja dan beranjak dewasa tidak berarti identitas mereka akan stabil sepanjang
hidupnya. Banyak individu yang mengembangkan identitas positif mengikuti siklus
"MAMA" artinya status identitas mereka berubah dari moratorium
ke achievement (pencapaian) ke moratorium ke achievement (Marcia,
1994).Siklus ini dapat berulang sepanjang hidup (Francis, Fraser & Marcia
1989). Marcia (2002) berpendapat bahwa identitas pertama adalah identitas
pertama, dan seharusnya tidak diharapkan akan menjadi identitas final.
Identitas etnik (ethnic identity)
adalah aspek yang menetap dari diri (self) yang mencakup penghayataan
sebagai anggota dari sebuah kelompok etnik, bersama dengan berbagai sikap dan
perasaan yang berkaitan dengan keanggotan itu. Jadi, untuk remaja dari kelompok
etnik minoritas, proses pembentukan identitas memiliki dimensi tambahan:
pilihan di antara dua atau lebih sumber identifikasi kelompok etnik mereka
sendiri dan kelompok arus utamanya, atau budaya yang dominan (Phinney, 2008).
Banyak remaja yang mengatasinya dengan mengembangkan identitas bikultur (bicultural
identity).Dengan begitu, di satu pihak mereka beridentifikasi dengan
kelompok etnik mereka serta dengan budaya utama di pihak lainnya.
Bagi individu di etnik minoritas,
masa remaja dan dewasa awal sering kali menjadi persimpangan khusus dalam
perkembangan hidupnya (Juang & Syed, 2010: Swanson 2010: Phinney, 2008).
Meskipun anak-anak telah menyadari adanya perbedaan etnik dan budaya, individu
akan terbuka terhadap etnisitasnya pertama kali ketika remaja atau beranjak
dewasa. Tidak seperti anak-anak, remaja dan dewasa awal mampu
menginterpretasikan informasi etnik dan budaya, merefleksikan kembali masa
lalu, dan memperkirakan masa depan.
Indikator perubahan identitas
sering kali berbeda untuk masing-masing generasi (Phinney & Ong, 2007).
Imigran generasi pertama cenderung merasa aman dalam identitasnya dan cenderung
tidak banyak berubah: mereka bisa saja mengembangkan atau tidak mengembangkan
identitas baru. Hal ini mungkin karena kewarganegaraan mereka otomatis
didapatkan begitu mereka dilahirkan.Identitas etnik generasi kedua cenderung
berkaitan dengan bertahannya bahasa etnik dan jaringan sosial mereka.Pada
generasi ketiga dan seterusnya, isu-isu yang ada menjadi lebih kompleks.Faktor
faktor historis, kontekstual dan politik yang tidak terkait dengan akulturasi
dapat memengaruhi sejauh mana anggota generasi ini memertahankan identitas
etnik.mereka.Untuk kelompok etnik non-Eropa, rasisme dan diskriminasi memengaruhi
di mereka.mana identitas etnik tertahan.
Para peneliti menemukan bahwa
identitas etnik yang positif juga berdampak ositif remaja minoritas
(Umana-Taylor, Updegraff 2010: Umana-Taylor dkk, 2008). Suatu penelitian
mengindikasikan bahwa warisan positi remaja etnik Navajo terkait dengan
penghargaan-diri yang tinggi, koneksi dengan sekolah, dan fungsi sosial (Jones
& Galliher, 2007). Sebuah studi longitudinal terbaru mengenai remaja Latin
menemukan bahwa resolusi identitas etnik selama ini dapat memprediksi coping
proaktif terhadap diskriminasi (Umana-Taylor dkk, 2008) Lebih jauh, penelitian
terbaru menemukan bahwa eksplorasi merupakan aspek penting dalam menciptakan
perasaan identitas etnik seseorang, di mana akhirnya terkait dengan perilaku
positif antara kelompok seseorang dengan kelompok orang lain (Whitehead dkk,
2009).
C. PERKEMBANGAN SPIRITUAL DAN RELIGI
Sejumlah penelitian telah menemukan
bahwa remaja yang terlibat dalam keagamaan cenderung berpartisipasi dalam
dibandingkan remaja yang tidak terlibat dalam keagamaan (Lerner, Roeser &
Phelps, 2009.
Penelitian perkembangan terbaru
mengungkapkan bahwa keyakinan remaja AS menurun dari usia 14 ke 20 tahun
(Koenig. McGue.& lacono, 2008).Dalam penelitian ini, keyakinan diukur
dengan frekuensi berdoa. mendiskusikan
ajaran agama, memutuskan tindakan moral dengan alasan agama, dan pentingnya agama
dalam kehidupan sehari-hari.
Peneliti telah
menemukan bahwa remaja perempuan lebih religius daripada remaja laki-laki (King
& Roeser, 2009) Suatu penelitian terhadap remaja usia 13 hingga 17 tahun
mengungkapkan bahwa remaja perempuan lebih sering mendatangi tempat ibadah,
merasa bahwa agama membentuk kehidupan sehari-hari, berpartisipasi dalam
kelompok sering berdoa, dan merasa lebih dekat pada keagamaan Tuhan (Smith
& Denton, 2005).
- Agama
dan Perkembangan identitas
Perkembangan identitas menjadi fokus sentral masa
remaja dan dewasa awal (Kroger Martinussen, & Marcia, 2010). Sebagai bagian
dari pencarian identi mereka, remaja dan dewasa awal mulai bergulat dengan cara
berpikir logis dan rumit misalnya dengan pertanyaan "Mengapa saya ada di
bumi ini? "Apakah Tuhan itu benar-benar ada ataukah saya hanya mempercayai
apa yang ditanamkan oleh orangtua dan tempat ibadah
saya?""Bagaimanakah sebenarnya pandangan religius saya?
- Perkembangan
Kognitif dan Agama pada Remaja
Sebagian besar perubahan kognitif yang diyakini
memengaruhi perkembangan religius melibatkan teori perkembangan kognitif
Piaget. Remaja lebih berpikir secara abstrak, idealistik, dan logis
dibandingkan anak-anak Peningkatan cara berpikir abstrak menjadikan remaja
mempertimbangkan berbagai gagasan tentang konsep religius dan spiritual.
Sebagai contoh seorang remaja mungkin mempertanyakan terciptanya kecintaan pada
Tuhan di tengah penderitaan banyak orang di dunia (Good &Willoughby
2008).Cara idealistik remaja yang meningkat ini menjadi dasar pemikiran apakah
agama dapat memberikan jalan terbaik menuju dunia yang lebih ideal dari
sebelumnya Peningkatan penalaran logis remaja memberikan kemampuan untuk
mengembangkan hipotesis dan secara sistematis berbagai jawaban terhadap
spiritual (Good &Willoughby, 2008).
- Peran
Positif Agama dalam Kehidupan Remaja
Peneliti telah menemukan bahwa berbagai aspek agama
terkait dengan hasil yang positif bagi remaja (Bridgers & Snarey, 2010;
King & Roesser, 2009). Agama juga berperan dalam kesehatan remaja dan
masalah perilaku mereka (Cotton dkk, 2006). Sebagai contoh, dalam sebuah sampel
acak nasional yang terdiri dari 2000 orang remaja usia 11 hingga 18 tahun,
mereka yang tingkat religiusnya tinggi, cenderung lebih sedikit merokok, minum
alkohol, menggunakan ganja, bolos sekolah, terlibat dalam kenakalan remaja dan
tidak merasa depresi dibandingkan remaja yang tingkat religiusnya rendah
(Sinha, Cnaan, & Gelles, 2006) Kebanyakan remaja yang religius menerapkan
pesan kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama. Sebagai contoh, dalam sebuah
survei, remaja yang religius hampir tiga kali lipat terlibat dalam kegiatan
keagamaan dibandingkan remaja yang tidak religius (Youniss, McLellan, &
Yates, 1999).
2.2 PERKEMBANGAN
HUBUNGAN DALAM KELUARGA
Keluarga
merupakan bagian penting dari jaringan sosial anak, sebab anggota keluarga
merupakan lingkungan pertama anak dan orang yang yang paling penting selama
tahun-tahun awal. Keluarga juga
dianggap sebagai unsur terpenting dalam kehidupan anak dalam banyak masyarakat.
Pola pengasuhan yang tepat bagi anak akan mempengaruhi kehidupannya. Pemberian
asah, asih, dan asuh yang tepat dalam memengaruhi karakter anak.Asah adalah
stimulasi yang diberikan.Asih adalah kasih sayang yang diberikan orang tua.Asuh
adalah kecukupan sandang, pangan, dan kesehatan termasuk pendidikan yang
diperoleh oleh anak. Berbagai hasil penelitian menunjukana bila orang tua
berperan dalam pendidikan, anak akan menunjukkan peningkatan prestasi belajar,
diikuti denga perbaikan sikap, stabilitas sosioemosional, kedisiplinan serta
aspirasi anak untuk belajar sampai perguruan tinggi, bahkan setelah bekerja dan
berumah tangga.
Orangtua
terutama ibu merupakan faktor eksternal dominan untuk menginternalisasi nilai
pendidikan bagi anaknya.Pemahaman atau internalisai tidak hanya bertumpu pada
aspk kognitif atau pengetahuannya saja. Peranan modern menyebabkan peranan ibu
sebagai endidikan yang pertama dan utama keluarga sebagai pendidikan informal
akan diambil alih oleh sekolah sebagai pendidikan eksternal.
Hubungan
dalam keluarga untuk perkembangan anak pada usia dini, orang tua berperan
sebagai lingkungan pertama dan utama dimana anak berinteraksisebagai lembaga
pendidikan yang tertua, artinya disinilah dimulai suatu proses pendidikan.
Sehingga orang tua berperan sebgai pendidik bagi anak-anaknya.Lingkungan
keluarga juga dikatakan lingkungan yang paling itama, karena sebagian besar kehidupan
anak berada didalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima
anak adalah berada dalam keluarga. Menurut Hasbullah (1997), dalam tulisannya tentang
dasar-dasar ilmu pendidikan, bahwa keluarga sebagai lembaga pendidikan memiliki
beberapa fungsi yaitu fungsi dalam perkembangan kepribadian
anak dan mendidik anak dirumah; fungsi keluarga/orang tua
dalam mendukung pendidikan di sekolah. Fungsi keluarga dalam pembentukan
kepribadian dan mendidik anak di rumah:
·
sebagai pengalaman pertama masa
kanak-kanak
·
menjamin kehidupan emosional anak
·
menanamkan dasar pendidikan moral
anak
·
memberikan dasar pendidikan
sosial
·
meletakan dasar-dasar pendidikan
agama
·
bertanggung jawab dalam
memotivasi dan mendorong keberhasilan
Fungsi keluarga/ orang tua dalam mendukung pendidikan anak di sekolah :
1.
Orang tua bekerjasama dengan sekolah, sikap anak
terhadap sekolah sangat di pengaruhi oleh sikap orang tua terhadap sekolah,
sehingga sangat dibutuhkan kepercayaan orang tua terhadap
sekolah yang menggantikan tugasnya selama di ruang sekolah.
2.
Orang tua harus memperhatikan sekolah
anaknya, yaitu dengan memperhatikan pengalaman-pengalamannya
dan menghargai segala usahanya. orang tua menunjukkan
kerjasama dalam menyerahkan cara belajar di rumah, membuat pekerjaan
rumah dan memotivasi dan membimbimbing anak dalam belajar.
3.
Orang tua bekerjasama dengan guru untuk mengatasi
kesulitan belajar anak
4.
Orang tua bersama anak mempersiapkan jenjang pendidikan yang akan dimasuki.
Untuk dapat menjalankan fungsi tersebut secara maksimal, sehingga orang tua
harus memiliki kualitas diri yang memadai, sehingga anak-anak akan berkembang
sesuai dengan harapan. Artinya orang tua harus memahami hakikat dan peran
mereka sebagai orang tua dalam membesarkan anak, membekali diri dengan ilmu
tentang pola pengasuhan yang tepat, pengetahuan tentang pendidikan yang
dijalani anak, dan ilmu tentang perkembangan anak, sehingga tidak salah dalam
menerapkan suatu bentuk pola pendidikan terutama dalam pembentukan kepribadian
anak yang sesuai denga tujuan pendidikan itu sendiri untuk
mencerdasakan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,
yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti
luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan
dan kebangsaan
Pendampingan orang tua dalam pendidikan anak diwujudkan dalam suatu
cara-cara orang tua mendidik anak.Cara orang tua mendidik anak inilah yang
disebut sebagai pola asuh. Setiap orang tua berusaha menggunakan cara yang
paling baik menurut mereka dalam mendidik anak. Untuk mencari pola yang terbaik
maka hendaklah orang tua mempersiapkan diri dengan beragam pengetahuan untuk
menemukan pola asuh yang tepat dalam mendidik anak.
Macam-macam pola asuh dan akibat-akibatnya, sebagai berikut:
a.
Pola Asuh Otoritative (Otoriter)
Cenderung tidak memikirkan apa yang terjadi di kemudian hari
,fokus lebih pada masa kini. Untuk kemudahan orang tua dalam pengasuhan.
Menilai dan menuntut anak untuk mematuhi standar mutlak yang ditentukan sepihak
oleh orang tua.
Efek pola asuh otoriter terhadap perilaku belajar anak :
-
anak menjadi tidak percaya diri,
kurang spontan ragu-ragu dan pasif, serta memiliki masalah
konsentrasi dalam belajar.
-
Ia menjalankan tugas-tugasnya
lebih disebabkan oleh takut hukuman.
-
Di sekolah memiliki kecenderungan
berperilaku antisosial, agresif, impulsive dan perilaku mal adatif lainnya.
-
Anak perempuan cenderung menjadi
dependen
b.
Pola Asuh Permisive (Pemanjaan)
Segala sesuatu terpusat pada kepentingan anak, dan orang tua/pengasuh tidak
berani menegur, takut anak menangis dan khawatir anak kecewa. Efek pola
asuh permisif terhadap perilaku belajar anak :
-
Anak memang menjadi tampak
responsif dalam belajar, namun tampak kurang matang (manja), impulsive
dan mementingkan diri sendiri, kurang percaya diri (cengeng)
dan mudah menyerah dalam menghadapi hambatan atau kesulitan
dalam tugas-tugasnya.
-
Tidak jarang perilakunya
disekolah menjadi agresif.
c.
Pola Asuh Indulgent
(Penelantaran)
Menelantarkan secara psikis. Kurang memperhatikan perkembangan
psikis anak.Anak dibiarkan berkembang sendiri.Orang tua lebih memprioritaskan
kepentingannya sendiri karena kesibukan. Efek pola asuh indulgent terhadap
perilaku belajar anak :
-
Anak dengan pola asuh ini paling potensial telibat
dalam kenakalan remaja seperti penggunaan
narkoba, merokok diusia dini dan tindak kriminal
lainnya.
-
Impulsive dan agresif serta
kurang mampu berkonsentrasi pada suatu aktivitas atau kegiatan.
-
Anak memiliki daya tahan terhadap
frustrasi rendah.
d.
Pola Asuh Autoritatif
(Demokratis)
Menerima anak sepenuh hati, memiliki wawasan kehidupan masa depan yang
dipengaruhi oleh tinakan-tidakan masa kini. Memprioritaskan kepentingan
anak, tapi tidak ragu-ragu mengendalikan anak. Membimbing anak kearah
kemandirian, menghargai anak yang memiliki emosi dan pikirannya sendiri. Efek pola asuh autoritatif
terhadap perilaku belajar anak:
-
Anak lebih mandiri, tegas
terhadap diri sendiri dan memiliki kemampuan
-
Mudah bekerjasama dengan orang
lain dan kooperatif terhadap aturan.
-
Lebih percaya diri akan
kemampannya menyelesaikan tugas-tugas.
-
Mantap, merasa aman dan menyukai
serta semangat dalam tugas-tugas belajar.
-
Memiliki keterampilan sosial yang
baik dan trampil
-
Tampak lebih kreatif dan memiliki
motivasi berprestasi.
-
Menyepakati pola asuh yang paling efektif dalam
keluarga adalah penting, karena pola asuh pada tahun-tahun awal kehidupan
seseorang akan melandasi kepribadiannya dimasa datang. Perilaku dewasa dan ciri
kepribadian dipengaruhi oleh berbagai peristiwa yang
terjadi selama tahun-tahun awal kehidupan, artinya antara masa anak
dan dewasa memiliki hubungan berkesinambungan.
Dengan mengetahui bagaimana pengalaman membentuk seorang individu, akan
menjadikan kita lebih bijaksana dalam membesarkan anak-anak kita. Banyak
masalah yang dihadapi disekolah (agresi, ketidakramahan,
negativistik, dan beragam gangguan kesulitan belajar) mungkin dapat dihindari
bila kita lebih memahami perilaku anak dan sikap orang tua mempengaruhi
anak-anaknya, serta bagaimana menanganinya pada usia dini.
Sebagai orang tua perlu mengetahui tugas-tugas perkembangan anak pada tiap
usianya, untuk mempermudah penerapan pola pendidikan dan mengetahiu kebutuhan
optimalisasi perkembangan anak . Tugas perkembangan adalah suatu tugas yang
muncul pada saat atau suatu periode tertentu yang jika berhasil
akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa kearah keberhasilan
dalam melaksanakan tugas berikutnya, tetapi kalau gagal akan
menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitasn dalam menjalankan tugas-tugas
berikutnya (Hurlock, 1991). Perkembangan manusia dikelompokan menjadi, Masa
prenatal, Masa bayi, Masa kanak-kanak, Masa puber, Masa
remaja, Masa dewasa.
2.3
PERKEMBANGAN HUBUNGAN DENGAN TEMAN SEBAYA DAN SEKOLAH
A. Transisi dari
Sekolah Dasar ke Sekolah Menengah
Transisi menuju
sekolah menengah pertama berlangsung ketika banyak perubahan – di individu,
keluarga dan sekolah – terjadi secara simultan.
Perubahan-perubahan ini mencakuphal-hal yang berkaitan dengan pubertas dan
citra tubuh; munculnya pemikiran operasional formal, termasuk perubahan dal
kognisi sosial; meningkatnya tanggung jawab dan menurunnya ketergantungan pada
orang tua; memasuki struktur selah yang lebih besar dan impersonal; perubahan
dari satu guru ke banyak guru serta perubahan dari kelompok rekan sebaya yang
kecildan homogeny menjadi kelompok rekan sebaya yang lebih besar dan heterogen.
Di masa transisi dari sekolah dasar menuju sekolah menengah pertama, para siswa
mengalami fenomena top-dog, perubahan situasi dari menjadi siswa paling tua,
paling besar paling kuat disekolah dasar menjadi siswa paling muda, paling
kecil, paling leah disekolah menengah.
Terdapat beberapa kritik yang
menyatakan bahwa sekolah menengah pertama seharusnya memberikan
aktivitas-aktivitas yang dapat menampung berbagai perbedaan individual dalam
perkembangan biologis pada remaja awal. Pada tahun 1989 Carnegie Corporation
mengeluarkan evaluasi yang sangat negative mengenai seolah menengah di AS.
Mereka menyimpulkan bahwa sebagian besar remaja awal memasuki sekolah-sekolah
yang yang padat dan impersonal; belajar dengan kurikulum yang tidak relevan;
hanya mempercayai beberapa orang dewasa saja, serta kurang memiliki akses
terhadap layanan kesehatan dan konseling. Dua puluh tahun kemudian, para ahli
masih menemukan bahwa sekolah menengah pertama dipenjuru Negara membutuhkan
perombakan besar jika ingin mendidik remaja secara efektif ( Eccles& Roeser,
2009; Elmore, 2009).
B. Sekolah Menengah Atas
Para kritikus
menekankan rendahnya ekpektasi terhadap keberhasilan dan standart
pebelajaran.Mereka juga berpendapat bahwa sering kali seklah menengah atas
menerapkan sikap pasif dan bahwa seharusnya sekolah menciptakan berbagai jalur
agar siswa dapat berhasil menemukan identitasnya.Banyak siswa lulusan sekolah
menengah atas dengan keterampilan membaca, menulis, dan matematika yang tidak
meadai termasuk para siswa yang melanjutkan kuiah namun harus mengikuti kelas
remedial terlebih dahulu. Sejumlah siswa lain keluar dari sekolah menengah atas
dan tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk memperoleh pekerjaan yang
lauak apalagi menjadi warga Negara berpengetahuan.
Terdapat beberapa faktor, yang
menyebabkan siswa putus sekolah (Jimmerson, 2009). Dalam sebuah penelitian
hampir 50% dari siswa yang putus sekolah menyatakan sejumlah alasan yang
terkait dengan sekolah, seperti tidak suka sekolah atau dikeluarkan dari
sekolah ( Rumberger, 1983). 20% dari para siswa yang putus sekolah (namun 40%
dari siswa latin) menyebutkan alasan ekonomi. Sepertiga dari siswa perepuan
yang putus sekolah menyatakan alasan pribadi, seperti hamil atau menikah.
Menurut hasil penelitian, program
yang paling efektif untuk mencegah putus sekolah enengah atas adalah
menyediakan program membaca awal, tutoring, konseling, dan mentoring ( Lehr
dkk, 2003). Jelas bahwa deteksi dini terhadap kesulitan siswa pada sekolah dan
melibatkan siswa dengan sekolahnya dengan cara yang positive merupakan strategi
penting untuk mengurangi jumlah siswa putus sekolah.
1.
Aktivitas Ekstrakurikuler
Aktivitas ini biasanya dilakukan setelah jam sekolah
dan didukung baik oleh sekolah maupun masyarakat. Peneliti menemukan bahwa,
berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler terkalit dengan nilai yang lebih
tinggi, keterlibatan sekolah, tidak putus sekolah, meningkatkan kemampuan
meneruskan sekolah, meningkatkan harga diri dan juga menurunkan tingkat
depresi, kenakalan remaja, dan penyalahgunaan obat terlarang ( fredricks &
Eccles, 2010; Mahoney dkk, 2009; Parente & Mahoney, 2009)
2.
Service Learning
Service Learning adalah suatu bentuk pendidikan yang
bertujuan untuk mengembangkan tanggung jawab sosial dan layanan kepada
masyarakat. Tujuan penting dari service learning adalah bahwa reaja tidak
terlalu berpusat pada diri sendiri dan
lebih termotivasi untuk menolong orag lain (Sherrod & Lauckhardt, 2009).
Peningkatan perkembangan remaja terkait service learning mencakup nilai yang membaik,
penetapan tujuan yang lebih baik, harga diri yang lebih tinggi, merasa lebih
mampu berbuat sesuatu bagi orang lain, dan meningkatkan kecenderungan para
remaja itu untuk menjadi sukarelawan dimasa depan ( Hart, Matsuba & atkins,
2008). Sebuah penelitian terbaru menemukan bahwa remaja perempuan lebih banyak
berpartisipasi dalam service learning dibandingkan remaja laki-laki (
Webster& Worrell, 2008).
3.
Persahabatan
Bagi sebagian besar anak-anak menjadi popular
bersama kawan sebayanya merupakan motivator yang kuat.Di awa masa remaja,
remaja biasanya memilih untuk memiliki beberapa sahabat yang lebih intens dan
akrab dibandingkan anak-anak kecil.
Selama masa remaja Harry Stack Sullivan (1953)
berpendapat bahwa sahabat menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan
sosial. Secara khusus, Sullivan menyatakan bahwa kebutuhan akan intimasi
meningkat dimasa remaja awal, dan memotivasi remaja untuk mencari sahabat. Jika
remaja gagal untuk menempa persahabatan yng akrab, mereka akan mengalami
kesepian dan penghayatan akan martabat dirinya (self-worth) juga akan menurun. Remaja juga mengatakan bahwa mereka
lebih banyak tergantung pada kawan-kawan dari pada orang tua untuk memenuhi
kebutuhan mereka atas kebersamaan, ketentraman hati dan intimasi.
Karakteristik teman berpengaruh
penting terhadap perkembangan remaj.Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa
indeks prestasi teman-teman merupakan sebuah alat prediksi yang penting dari
pencapaian positif disekolah dan juga terkait dengan rendahnya prilaku negative
di area-area seperti pennyalahgunaan narkoba dan acting out.
C.
Kelompok Kawan Sebaya
Peneliti
telah menemukan bahwa standart kawan sebaya serta pengaruk klik dan crowds menjadi semakin penting selama
masa remaja.
a.
Tekanan dari kawan sebaya
Dibandingkan
anak-anak remaja awal lebih banyak menyesuaikan diri terhadap standart kawan
sebayanya.pada kelas delapan dan Sembilan, konformitas terhadap kawan sebaya –
khususnya terhadap standar antisocial – mencapai puncaknya (Brown & Larson,
2009; Brown dkk, 2008). Dalam taraf ini remaja cenderung melakukan hal negativ
seperti mencuri penutup roda mobil, membuat graffiti didinding atau mencuri
kosmetikdari konter took bersama kawan sebayanya. Salah satu penelitian
menemukan bahwa remaja AS cenderung
lebih menekan kawan sebayanya untuk menolk pengaruh orang tua dibandingkan
remaja Jepang ( Rothbaum dkk, 2000).
Mitchell
Prinstein dan koleganya ( Cohen& Prinstein, 2006; Pristein, 2007; Priestein
& Dodge, 2008) telah melakukan riset yang mengungkapkan bahwa remaja yang
tidak yakin akan identitas sosialnya, cenderung lebih menyesuaikan diri dengan
kawan sebayanya. Ketidakyakinan ini sering kali meningkat selama masa transisi,
seperti transisi di sekolah dan keluarga.Demikian halnya, kawn sebaya cenderung
lebih menyesuaikan diri ketiak ada seseorang uang menurut mereka statusnya
lebih tinggi.
b.
Klik & Crowds
Klik
adalah kelompok kecil yang jumlah anggotanya berkisar dari 2 hingga 12 individu
dan rata-rata 5 hingga 6 individu. Anggota klik biasanya memiliki kesamaan
gender dan usia. Dimasa-masa sekolah menengah atas, persahabat dalam klik lebih
bersifat heteroseksual dengan beberapa siswa senior, rata-rata dengan 2 gender
berbeda dan 4 orang dengan gender yang sama dibandingkan dengan tidak ada atau
satu gender berbeda atau lima orang atau lebih gender yang sama dikelas enam (
Buhrmester& Chong, 2009).
Klik
dapat terbentuk karena remaja terlibat dalam aktifitas yang sama. Beberapa klik
juga terbentuk karena persahabatan. Sejumlah remaja dapat membentuk klik karena
mereka telah menghabiskan waktu bersama, berbagi minat yang sama, dan menikmati
kebersamaan mereka.
Crowd
bersifat lebih besar dari klik dan kurang personal.Keanggotaan remaja dalam
sebuah crowd biasanya didasarkan pada reputasi.Banyak crowd yang diidentifikasi
sesuai dengan aktifitas yang dilakukan oleh remaja (Brown, 2004).Reputasi yang
didasarkan pada crowd sering muncul pertama kali diasa remaja awal dan biasanya
menjadi kurang enonjol dimasa remaja akhir (Collins & Steinberg, 2006).
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Perkembangan
sosial adalah sebuah proses interaksi yang dibangun oleh seseorang dengan orang
lain. Perkembangan sosial ini berupa jalinan interaksi anak dengan orang lain,
mulai dari orang tua, saudara, teman bermain, hingga masyarakat secara luas.
Perkembangan sosial adalah proses belajar mengenal normal dan peraturan dalam
sebuah komunitas. Manusia akan selalu hidup dalam kelompok, sehingga
perkembangan sosial adalah mutlak bagi setiap orang untuk di pelajari,
beradaptasi dan menyesuaikan diri.
Hubungan sosial memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap tingkah laku individu.hubungan sosial individu dimulai sejak individu
lahir, hubungan bayi dengan orang disekitarnya, terutama ibu, memiliki arti
yang sangat penting.hubungan ini paling dirasakan kehangatannnya dan kemudian
menjadi pengalaman hubungan sosial yang amat mendalam adalah melalui sentuhan
ibu terhadap anak bayi, terutama saat menyusui.kasih saying ibu ini memiliki
pengaruh besar terhadap perkembangan jiwa anak di kemudian hari.
Perkembangan
hubungan sosial anak semakin berkembang pada usia prasekolah, kira-kira 18
bulan. Pada usia ini dimulai dengan tumbuhnya kesadaran diri dan
kepemilikannya, selain itu keinginan untuk mengeksplorasi lingkungan semakin
besar. Pada masa ini hingga akhir masa sekolah ditandai dengan meluasnya lingkungan
sosial. Selain dengan anggota keluarganya, anak juga mulai mendekatkan diri
kepada orang-orang lain disekitarnya.dalam proses ini teman-teman sebaya dan
guru-gurunya mempunyai peranan yang sangat penting bagi mereka.
3.2 SARAN
Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan
dalam pembuatan makalah ini, dikarenakan kurangnya pengetahuan penulis dan
kurangnya sumber tentang Psikososial. Maka penulis mengharapkan kritik dan
saran pembaca agar dalam pembuatan makalah selanjutnya dapat lebih baik dari
sebelumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Alimuddin
Mahmud & Kustiah Sunarty.2006.Dasar-dasar
Bimbingan & Konseling Keluarga.Makassar:Samudra Alif-MIM
Friedman M. Marilyn, 1998, Keperawatan
keluarga-teori dan praktik, edisi 3, EGC, Jakarta.
Mutiah, Diana. 2010. Psikologi Bermain Anak
Usia Dini. Cet ke-1. Jakarta: KENCANA.
Papalia, Diane dkk. 2015. Menyelami Perkembangan
Manusia. Ed 12. Jakarta Selatan : Salemba Humanika
Santrock
John. 2012. Perkembangan masa hidup ,Jakarta;Erlangga