Minggu, 09 September 2018

PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL


BAB I
PENDAHULUAN
1.1            Latar belakang

Perkembangan psikososial adalah  perkembangan yang membahas tentang perkembangan kepribadian manusia khususnya yang berkaitan dengan emosi, motivasi dan perkembangan kepribadian.
Memasuki tahun-tahun untuk sekolah dasar, adalah perubahan yang paling penting  pada perubahan anak. Penelitian memperkirakan persentasi dari menghabiskan waktu dalam interaksi sosial dengan  sesama meningkat sekitar 10 persen pada  tahun kedua dan 30 persen pada masa pertengahan dan akhir  kanak-kanak( Rubin, Bukowski, & Parker, 2006).Awalnya, hari-hari biasa di sekolah dasar terhitung sekitar 300 episode dengan sesamanya.Anak bepindah melalui masa pertengahan dan akhir kanak-kanak, ukuran dari group mereka meningkat, dan interaksi sesama menjadi kurang erat saat dewasa.
Dalam suatu investigasi , diketahui  anak-anak berinteraksi dengan teman-teman sebaya 10%dari waktu siang mereka pada usia 2 tahun, 20% antara usia 7 dan 11 tahun. Episode bersama teman-teman sebaya berjumlah 299 per hari sekolah.
 Kebanyakan interaksi teman sebaya terjadi diluar rumah (walaupun dekat dengan rumah), lebih sering terjadi di tempat-tempat pribadi daripada di temapat umum, dan lebih sering terjadi diantara anak-anak yang sama jenis kelamin daripada diantara anak-anak  yang berbeda jenis kelamin.
Anak yang populer memiliki kemampuan sosial yang membuat mereka disukai. Mereka memberi  penguatan, pendengar yang baik, mempertahankan komunikasi yang saling terbuka dengan sebaya, menyenangkan, mengontrol emosi negatif mereka, bertindak seperti mereka, menunjukkan antusiasme dan perhatian pada yang lainya, dan self-confident tanpa menjadi sombong.
Anak yang ditolak sering memiliki masalah adaptasi yang serius dibandingkan anak yang kurang perhatian .suatu study menemukan bahwa di TK anak-anak yang ditolak teman sebayanya kurang berpartisipasi dalam kelas , lebih berekspresi menghindari sekolah dan lebih menyendiri dibandingkan anak yang diterima teman sebaya.

1.2            Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini dipaparkan sebagai berikut.
1.      Bagaimana perkembangan pada diri manusia dalam Memahami Diri sendiri?
2.      Bagaimana perkembangan hubungan diri manusia dengan keluarganya?
3.      Bagaimana perkembangan hubungan diri manusia dengan teman sebayanya?

1.3            Tujuan
Tujuan dalam makalah ini dipaparkan sebagai berikut.
1.      Untuk mengetahui Perkembangan Pemahaman diri yang ada dalam diri
2.      Untuk mengetahui perkembangan hubungan diri manusia dengan keluarga
3.      Untuk mengetahui perkembangan hubungan diri manusia dengan teman sebaya



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PERKEMBANGAN PEMAHAMAN DIRI
A.    PENGHARGAAN DIRI
Penghargaan diri (self-esteem) adalah keseluruhan cara yang kita pergunakan untuk mengevaluasi diri kita. Kontroversi mencirikan sejauh mana perubahan penghargaan-diri itu berlangsung di masa remaja dan benarkan terdapat perbedaan gender yang menyangkut penghargaan diri remaja (Harter 2006). Berdasarkan hasil sebuah studi diketahui bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki penghargaan-diri yang tinggi di masa kanak-kanak. Meskipun demikian, harga-diri mereka cenderung turun secara drastis selama masa remaja (Robins dkk,2002). Menurut hasil studi ini, dimasa remaja, penurunan penghargaan-diri pada anak perempuan lebih besar dibandingkan pada anak laki-laki.
Studi longitudinal di Selandia Baru menilai penghargaan-diri remaja usia 11,13, dan 15 tahun serta penyesuaian dan kompetisi mereka ketika berusia 26 tahun (Trzesniewski dkk., 2006). Hasilnya adalah orang dewasa yang dicirikan oleh kesehatan fisik dan mental yang rendah, prospek ekonomi yang buruk, dan tingkat perilaku kriminal yang tinggi cenderung memiliki rasa penghargaan-diri yang rendah.Ketika remaja dibandingkan orang dewasa yang lebih kompeten dan berhasil menyesuaikan diri.
Beberapa kritikus menyatakan bahwa perubahan perkembangan dan perbedaan gender yang menyangkut penghargaan-diri di masa remaja itu terlalu dibesar-besarkan (Harter, 2006). Terlepas dari perbedaan hasil dan interpretasi ini, penghargaan-diri remaja perempuan cenderung menurun paling tidak dimasa remaja awal.
Salah satu alasan yang diberikan adalah bahwa di masa pubertas, remaja perempuan memilki pencitraan tubuh yang negatif. Penjelasan lain menyatakan bahwa para remaja kecil ini memiliki minat yang lebih besar di dalam relasi sosial namun masyarakat tidak dapat mengantisipasi minat mereka tersebut (Impett, dkk,. 2008).
Penghargaan-diri mencerminkan persepsi yang tidak selalu sesuai dengan realitasnya (Krueger, Vohs, & Baumeister, 2008). Penghargaan diri seorang remaja dapat mengindikasi persepsi tentang apakah remaja tersebut pintar dan  menarik, misalnya, namun persepsi tersebut mungkin tidak akurat. Dengan demikian, penghargaan diri yang tinggi dapat mengacu  pada persepsi yang akurat mengenai nilai seseorang sebagai manusia serta keberhasilan dan pencapaian seseorang, namun juga dapat mengindikasi kesombongan, sama, penghargaan diri yang rendah mengindikasikan kesombongan, berlebihan, dan merasa superior dan yang lain. Dengan cara yang sama, penghargaan diri yang rendah mengindikasi persepsi mengenai kekurangan atau penyimpangan seseorang, atau bahkan rasa inferior dan ketidakamanan patologis.
Narsisme mengacu pada pendekatan terhadap orang lain yang berpusat pada diri (self-centered) dan memikirkan diri sendiri (self-concered). Biasanya pelaku narsisme tidak menyadari keadaan aktual diri sendiri dan bagaimana orang lain memandangnya. Ketidaktahuan ini menimbulakn masalah penyesuaian pada mereka. Pelaku narsisme sangat berpusat pada dirinya (self-satisfied) dan meyakini bahwa mereka adalah karyawan, pasangan, dan orang tua yang baik.
B.     IDENTITAS
Teori perkembangan identitas yang hingga saat ini dianggap paling komprehensif dan paling provokatif, adalah teori yang dikemukakan oleh Erik Erikson. Identitas adalah potret diri yang tersusun dari berbagai aspek, yang mencakup :
·         Jejak karier dan pekerja yang ingin dirintis seseorang (identitas pekerjaan/karier).
·         Apakah seseorang itu konservatif, liberal, atau berada diantara keduanya (identitas politik)
·         Keyakinan spiritual seseorang (identitas spiritual)
·         Apakah seseorang itu lajang menikah, bercerai, dan seterusnya (identitas relasi)
·         Sejauh mana seseorang termotivaso untuk berprestasi dan intelektualisnya (identitas prestasi, intelektual)
·         Apakah seseorang itu heteroseksual, homoseksual, atau biseksual (identitas seksual)
·         Latar belakang negara seseorang dan seberapa kuatkah orang itu beridentifikasi dengan budaya asalnya (identitas budaya/etnik)
·         Hal-hal yang senang dilakukan seseorang, seperti olahraga, hobi, musik, dan sebagainya  (minat)
·         Karakteristik kepribadian individual (seperti introver atau ekstrover, bersemangat atau tenang, bersahabat atau kasar, dan seterusnya) (kepribadian)
·         Citra-tubuh individu tersebut (identitas fisik)
Mensintesiskan komponen-komponen identitas dapat menjadi sebuah proses yang panjang dan berlarut-larut, yang disertai dengan banyak negasi dan afirmasi sehubungan dengan berbagai peran dan wajah yang hendak disandang. Keputusan tidak cukup dibuat sekali yang kemudian berlangsung selamanya, namun harus dibuat dan dibuat kembali.Perkembangan identitas tidak terjadi secara rapi dan tid sekaligus menyangkut perubahan yang besar (Cote, 2009).
Erik Erikson (1950, 1968) adalah tokoh pertama yang memahami betapa pentingnya pertanyaan-pertanyaan mengenai identitas untuk memahami perkembangan remaja. Tahap yang dialami individu di masa remaja, yaitu tahap identitas versus kebingungan identitas (identity versus identity confusion). Menurut Erikson, di masa ini, remaja harus memutuskan siapakah dirinya, bagaimanakah dirinya, tujuan apakah yang hendak diraihnya.
Pencarian identitas yang berlangsung di masa remaja ini juga disertai oleh berlangsungnya moratorium psikososial (psychosocial moratorium), istilah yang digunakan oleh Erikson untuk merujuk pada kesenjangan antara keamanan kanak-kanak dan otonomi orang dewasa. Selama periode ini, masyarakat secara relatif membiarkan remaja bebas dari tanggung jawab dan bebas mencoba berbagai identitas.Remaja bereksperimen dengan berbagai peran dan kepribadian. Pada suatu waktu mereka ingin mengejar sebuah karier (sebagai contoh, menjadi seorang pengacara) dan karier lain di waktu lainnya (dokter, aktor, guru, pekerja sosial, atau astronot, contohnya). Mereka mungkin berpakaian rapi di suatu hari, namun tidak rapi di hari berikutnya.Eksperimen ini merupakan usaha yang dilakukan dengan disengaja oleh remaja agar dapat menemukan kesesusaian mereka di dunia.Sebagian besar remaja bahkan membuang peran yang tidak disukai.
Remaja yang berhasil mengatasi konflik identitas akan tumbuh dengan penghayatan mengenai diri yang menyegarkan dan dapat diterima. Remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis identitas menderita apa yang disebut Erikson sebagai kebingungan identitas. Kebingungan ini dapat menggejala ke dalam dua bentuk: diri mengisolasi diri dari kawan sebaya dan keluarga, atau mereka meleburkan diri ke dalam dunia kawan sebaya dan kehilangan identitasnya di tengah crowd-nya.
Hal penting yang terjadi di masa perkembangan identitas di masa remaja, khususnya remaja akhir adalah bahwa di masa ini untuk pertama kalinya terjadi perkembangan fisik, kognitif, dan sosioemosi hingga suatu taraf yang memungkinkan individu dapat menyaring dan mensintesiskan identitas kanak-kanak dan beridentifikasi untuk melangkah mencapai kematangan seorang dewasa.
Peneliti beraliran Erikson, James Marcia (1980, 1994) berpendapat bahwa teori perkembangan identitas Erikson terdiri dari empat status identitas, atau cara yang ditempuh dalam menyelesaikan krisis identitas :difusi identitas, foreclosure identitas, moratorium identitas, dan pencapaian identitas. Krisis (crisis) didefinisikan sebagai periode perkembangan identitas di individu berusaha melakukan sebagian eksplorasi terhadap berbagai alternative. Sebagian besar peneliti menggunakan istilah eksplorasi alih-alih krisis. Komitmen (commitment ) adalah investasi pribadi di dalam identita Keempat status identitas tersebut adalah :
  • Difusi identitas (identity diffusion), status individu yang belum pernah mengalami krisis ataupun membuat komitmen apapun. Mereka tidak hanya tidak membuat keputusan yang menyangkut pilihan pekerjaan atau ideologi, mereka juga cenderung kurang berminat terhadap hal-hal semacam itu
  • Penyitaan identitas (identity foreclosure) status individu yang telah membuat komitmen namun tidak pernah mengalami krisis. Status identitas ini sering kali terjadi jika orang tua menurunkan komitmen pada remajanya biasanya secara otoriter sebelum remaja tersebut memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai pendekatan, ideologis, dan pekerjaannya sendiri.
  • Moratorium identitas (identity moratorium), adalah status individu yang berada di pertengahan krisis namun yang komitmennya tidak ada atau hanya didefinisikan secara kabur
  • Pencapaian identitas (identity achievement) adalah status individu yang telah mengalami krisis dan membuat komitmen.
Remaja yang Beranjak Dewasa Konsensus yang berkembang adalah bahwa kunci perubahan dalam identitas terjadi ketika remaja beranjak dewasa (usia hingga 25 tahun) atau setelahnya, dan bukan di masa remaja (Cote, 2009: Juang Syed, 2010: 2007; Luyckx dkk, 2008). Sebagai contoh, Alan Waterman (1985, 1999) menemukan bahwa sejak tahun-tahun pertama sekolah menengah atas hingga tahun terakhir masa kuliah, jumlah individu yang tergolong pencapaian identitas meningkat, sedangkan individu yang tergolong difusi identitas menurun.Jadi, mahasiswa tingkat atas cenderung tergolong mencapai identitas dibandingkan mahasiswa tingkat baru atau siswa sekolah menengah atas.Sebaliknya.masih banyak remaja, yang termasuk difusi identitas. Perkembangan mental ini terutama berlaku untuk pilihan vokasional.Dalam hal keyakinan religiusitas dan identitas, politik, lebih sedikit mahasiswa yang telah mencapai status pencapaian sebagian besar masih dicirikan dengan penyitaan dan difusi.Jadi, waktu perkembangan identitas tergantung pada dimensi-dimensi tertentu yang terkait.
Meningkatnya kompleksitas keterampilan pemalaran mahasiswa dikombinasikan dengan berbagai pengalaman baru yang menyoroti perbedaan antara rumah dan kampus dan antara diri mahasiswa itu sendiri dan orang lain, mendorong mereka untuk dapat mengintegrasikan berbagai dimensi identitasnya (Phinney, 2008).
Meta-analisis terbaru terhadap 124 penelitian mengungkapkan bahwa status moratorium identitas berkembang secara stabil hingga usia 19 tahun dan kemudian menurun: pencapaian identitas berkembang selama masa remaja akhir dan dewasa awal : status menengah penyitaan dan difusi menurun selama masa sekolah namun berfluktuasi di masa remaja akhir dan dewasa awal (Kroger, Martinussen 6 Marcia, 2010). Sebagian besar individu masih belum mencapai identitasnya ketika dewasa awal.
Resolusi masalah identitas di masa remaja dan beranjak dewasa tidak berarti identitas mereka akan stabil sepanjang hidupnya. Banyak individu yang mengembangkan identitas positif mengikuti siklus "MAMA" artinya status identitas mereka berubah dari moratorium ke achievement (pencapaian) ke moratorium ke achievement (Marcia, 1994).Siklus ini dapat berulang sepanjang hidup (Francis, Fraser & Marcia 1989). Marcia (2002) berpendapat bahwa identitas pertama adalah identitas pertama, dan seharusnya tidak diharapkan akan menjadi identitas final.
Identitas etnik (ethnic identity) adalah aspek yang menetap dari diri (self) yang mencakup penghayataan sebagai anggota dari sebuah kelompok etnik, bersama dengan berbagai sikap dan perasaan yang berkaitan dengan keanggotan itu. Jadi, untuk remaja dari kelompok etnik minoritas, proses pembentukan identitas memiliki dimensi tambahan: pilihan di antara dua atau lebih sumber identifikasi kelompok etnik mereka sendiri dan kelompok arus utamanya, atau budaya yang dominan (Phinney, 2008). Banyak remaja yang mengatasinya dengan mengembangkan identitas bikultur (bicultural identity).Dengan begitu, di satu pihak mereka beridentifikasi dengan kelompok etnik mereka serta dengan budaya utama di pihak lainnya.
Bagi individu di etnik minoritas, masa remaja dan dewasa awal sering kali menjadi persimpangan khusus dalam perkembangan hidupnya (Juang & Syed, 2010: Swanson 2010: Phinney, 2008). Meskipun anak-anak telah menyadari adanya perbedaan etnik dan budaya, individu akan terbuka terhadap etnisitasnya pertama kali ketika remaja atau beranjak dewasa. Tidak seperti anak-anak, remaja dan dewasa awal mampu menginterpretasikan informasi etnik dan budaya, merefleksikan kembali masa lalu, dan memperkirakan masa depan.
Indikator perubahan identitas sering kali berbeda untuk masing-masing generasi (Phinney & Ong, 2007). Imigran generasi pertama cenderung merasa aman dalam identitasnya dan cenderung tidak banyak berubah: mereka bisa saja mengembangkan atau tidak mengembangkan identitas baru. Hal ini mungkin karena kewarganegaraan mereka otomatis didapatkan begitu mereka dilahirkan.Identitas etnik generasi kedua cenderung berkaitan dengan bertahannya bahasa etnik dan jaringan sosial mereka.Pada generasi ketiga dan seterusnya, isu-isu yang ada menjadi lebih kompleks.Faktor faktor historis, kontekstual dan politik yang tidak terkait dengan akulturasi dapat memengaruhi sejauh mana anggota generasi ini memertahankan identitas etnik.mereka.Untuk kelompok etnik non-Eropa, rasisme dan diskriminasi memengaruhi di mereka.mana identitas etnik tertahan.
Para peneliti menemukan bahwa identitas etnik yang positif juga berdampak ositif remaja minoritas (Umana-Taylor, Updegraff 2010: Umana-Taylor dkk, 2008). Suatu penelitian mengindikasikan bahwa warisan positi remaja etnik Navajo terkait dengan penghargaan-diri yang tinggi, koneksi dengan sekolah, dan fungsi sosial (Jones & Galliher, 2007). Sebuah studi longitudinal terbaru mengenai remaja Latin menemukan bahwa resolusi identitas etnik selama ini dapat memprediksi coping proaktif terhadap diskriminasi (Umana-Taylor dkk, 2008) Lebih jauh, penelitian terbaru menemukan bahwa eksplorasi merupakan aspek penting dalam menciptakan perasaan identitas etnik seseorang, di mana akhirnya terkait dengan perilaku positif antara kelompok seseorang dengan kelompok orang lain (Whitehead dkk, 2009).
C.    PERKEMBANGAN SPIRITUAL DAN RELIGI
Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa remaja yang terlibat dalam keagamaan cenderung berpartisipasi dalam dibandingkan remaja yang tidak terlibat dalam keagamaan (Lerner, Roeser & Phelps, 2009.
Penelitian perkembangan terbaru mengungkapkan bahwa keyakinan remaja AS menurun dari usia 14 ke 20 tahun (Koenig. McGue.& lacono, 2008).Dalam penelitian ini, keyakinan diukur dengan frekuensi berdoa. mendiskusikan ajaran agama, memutuskan tindakan moral dengan alasan agama, dan pentingnya agama dalam kehidupan sehari-hari.
Peneliti telah menemukan bahwa remaja perempuan lebih religius daripada remaja laki-laki (King & Roeser, 2009) Suatu penelitian terhadap remaja usia 13 hingga 17 tahun mengungkapkan bahwa remaja perempuan lebih sering mendatangi tempat ibadah, merasa bahwa agama membentuk kehidupan sehari-hari, berpartisipasi dalam kelompok sering berdoa, dan merasa lebih dekat pada keagamaan Tuhan (Smith & Denton, 2005).
  1. Agama dan Perkembangan identitas
Perkembangan identitas menjadi fokus sentral masa remaja dan dewasa awal (Kroger Martinussen, & Marcia, 2010). Sebagai bagian dari pencarian identi mereka, remaja dan dewasa awal mulai bergulat dengan cara berpikir logis dan rumit misalnya dengan pertanyaan "Mengapa saya ada di bumi ini? "Apakah Tuhan itu benar-benar ada ataukah saya hanya mempercayai apa yang ditanamkan oleh orangtua dan tempat ibadah saya?""Bagaimanakah sebenarnya pandangan religius saya?
  1. Perkembangan Kognitif dan Agama pada Remaja
Sebagian besar perubahan kognitif yang diyakini memengaruhi perkembangan religius melibatkan teori perkembangan kognitif Piaget. Remaja lebih berpikir secara abstrak, idealistik, dan logis dibandingkan anak-anak Peningkatan cara berpikir abstrak menjadikan remaja mempertimbangkan berbagai gagasan tentang konsep religius dan spiritual. Sebagai contoh seorang remaja mungkin mempertanyakan terciptanya kecintaan pada Tuhan di tengah penderitaan banyak orang di dunia (Good &Willoughby 2008).Cara idealistik remaja yang meningkat ini menjadi dasar pemikiran apakah agama dapat memberikan jalan terbaik menuju dunia yang lebih ideal dari sebelumnya Peningkatan penalaran logis remaja memberikan kemampuan untuk mengembangkan hipotesis dan secara sistematis berbagai jawaban terhadap spiritual (Good &Willoughby, 2008).
  1. Peran Positif Agama dalam Kehidupan Remaja
Peneliti telah menemukan bahwa berbagai aspek agama terkait dengan hasil yang positif bagi remaja (Bridgers & Snarey, 2010; King & Roesser, 2009). Agama juga berperan dalam kesehatan remaja dan masalah perilaku mereka (Cotton dkk, 2006). Sebagai contoh, dalam sebuah sampel acak nasional yang terdiri dari 2000 orang remaja usia 11 hingga 18 tahun, mereka yang tingkat religiusnya tinggi, cenderung lebih sedikit merokok, minum alkohol, menggunakan ganja, bolos sekolah, terlibat dalam kenakalan remaja dan tidak merasa depresi dibandingkan remaja yang tingkat religiusnya rendah (Sinha, Cnaan, & Gelles, 2006) Kebanyakan remaja yang religius menerapkan pesan kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama. Sebagai contoh, dalam sebuah survei, remaja yang religius hampir tiga kali lipat terlibat dalam kegiatan keagamaan dibandingkan remaja yang tidak religius (Youniss, McLellan, & Yates, 1999).
2.2 PERKEMBANGAN HUBUNGAN DALAM KELUARGA
Keluarga merupakan bagian penting dari jaringan sosial anak, sebab anggota keluarga merupakan lingkungan pertama anak dan orang yang yang paling penting selama tahun-tahun awal. Keluarga juga dianggap sebagai unsur terpenting dalam kehidupan anak dalam banyak masyarakat. Pola pengasuhan yang tepat bagi anak akan mempengaruhi kehidupannya. Pemberian asah, asih, dan asuh yang tepat dalam memengaruhi karakter anak.Asah adalah stimulasi yang diberikan.Asih adalah kasih sayang yang diberikan orang tua.Asuh adalah kecukupan sandang, pangan, dan kesehatan termasuk pendidikan yang diperoleh oleh anak. Berbagai hasil penelitian menunjukana bila orang tua berperan dalam pendidikan, anak akan menunjukkan peningkatan prestasi belajar, diikuti denga perbaikan sikap, stabilitas sosioemosional, kedisiplinan serta aspirasi anak untuk belajar sampai perguruan tinggi, bahkan setelah bekerja dan berumah tangga.
Orangtua terutama ibu merupakan faktor eksternal dominan untuk menginternalisasi nilai pendidikan bagi anaknya.Pemahaman atau internalisai tidak hanya bertumpu pada aspk kognitif atau pengetahuannya saja. Peranan modern menyebabkan peranan ibu sebagai endidikan yang pertama dan utama keluarga sebagai pendidikan informal akan diambil alih oleh sekolah sebagai pendidikan eksternal.
Hubungan dalam keluarga untuk perkembangan anak pada usia dini, orang tua berperan sebagai lingkungan pertama dan utama dimana anak berinteraksisebagai lembaga pendidikan yang tertua, artinya disinilah dimulai suatu proses pendidikan. Sehingga orang tua berperan sebgai pendidik bagi anak-anaknya.Lingkungan keluarga juga dikatakan lingkungan yang paling itama, karena sebagian besar kehidupan anak berada didalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah berada dalam keluarga. Menurut Hasbullah (1997), dalam tulisannya tentang dasar-dasar ilmu pendidikan, bahwa keluarga sebagai lembaga pendidikan memiliki beberapa fungsi yaitu fungsi dalam perkembangan kepribadian anak  dan  mendidik anak dirumah; fungsi keluarga/orang tua dalam mendukung pendidikan di sekolah. Fungsi keluarga dalam pembentukan kepribadian dan mendidik anak di rumah:
·                  sebagai pengalaman pertama masa kanak-kanak
·                  menjamin kehidupan emosional anak
·                  menanamkan dasar pendidikan moral anak
·                  memberikan dasar pendidikan sosial
·                  meletakan dasar-dasar pendidikan agama
·                  bertanggung jawab dalam memotivasi dan mendorong keberhasilan
Fungsi keluarga/ orang tua dalam mendukung pendidikan anak di sekolah :
1.      Orang tua bekerjasama dengan sekolah, sikap anak terhadap sekolah sangat di pengaruhi oleh sikap orang tua terhadap sekolah, sehingga sangat dibutuhkan   kepercayaan orang tua terhadap sekolah  yang menggantikan tugasnya selama di ruang sekolah.
2.      Orang tua harus memperhatikan  sekolah anaknya, yaitu dengan memperhatikan pengalaman-pengalamannya dan   menghargai segala usahanya. orang tua menunjukkan kerjasama dalam menyerahkan cara belajar   di rumah, membuat pekerjaan rumah dan memotivasi   dan membimbimbing anak dalam belajar.
3.      Orang tua bekerjasama dengan guru untuk mengatasi kesulitan belajar anak
4.      Orang tua bersama anak mempersiapkan jenjang pendidikan yang akan dimasuki.
Untuk dapat menjalankan fungsi tersebut secara maksimal, sehingga orang tua harus memiliki kualitas diri yang memadai, sehingga anak-anak akan berkembang sesuai dengan harapan. Artinya orang tua harus memahami hakikat dan peran mereka sebagai orang tua dalam membesarkan anak, membekali diri dengan ilmu tentang pola pengasuhan yang tepat, pengetahuan tentang pendidikan yang dijalani anak, dan ilmu tentang perkembangan anak, sehingga tidak salah dalam menerapkan suatu bentuk pola pendidikan terutama dalam pembentukan kepribadian anak yang sesuai denga  tujuan pendidikan itu sendiri untuk mencerdasakan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan
Pendampingan orang tua dalam pendidikan anak diwujudkan dalam suatu cara-cara orang tua mendidik anak.Cara orang tua mendidik anak inilah yang disebut sebagai pola asuh. Setiap orang tua berusaha menggunakan cara yang paling baik menurut mereka dalam mendidik anak. Untuk mencari pola yang terbaik maka hendaklah orang tua mempersiapkan diri dengan beragam pengetahuan untuk menemukan pola asuh yang tepat dalam mendidik anak.
Macam-macam pola asuh dan akibat-akibatnya, sebagai berikut:
a.       Pola Asuh Otoritative (Otoriter)
Cenderung tidak memikirkan apa yang terjadi  di kemudian hari ,fokus lebih pada masa kini. Untuk kemudahan orang tua dalam  pengasuhan. Menilai dan menuntut anak untuk mematuhi standar mutlak yang ditentukan sepihak oleh orang tua.
Efek pola asuh otoriter terhadap perilaku belajar anak :
-          anak menjadi tidak percaya diri, kurang spontan  ragu-ragu dan pasif, serta memiliki masalah konsentrasi dalam   belajar.
-          Ia menjalankan tugas-tugasnya lebih disebabkan oleh takut hukuman.
-          Di sekolah memiliki kecenderungan berperilaku antisosial, agresif, impulsive dan perilaku mal adatif lainnya.
-          Anak perempuan cenderung menjadi dependen

b.      Pola Asuh Permisive (Pemanjaan)
Segala sesuatu terpusat pada kepentingan anak, dan orang tua/pengasuh tidak berani menegur, takut anak menangis   dan khawatir anak kecewa. Efek pola asuh permisif terhadap perilaku belajar anak  :
-          Anak memang menjadi tampak responsif dalam belajar, namun tampak kurang matang (manja), impulsive dan   mementingkan diri sendiri, kurang percaya diri (cengeng) dan mudah menyerah dalam menghadapi hambatan atau   kesulitan dalam tugas-tugasnya.
-           Tidak jarang perilakunya disekolah menjadi agresif.

c.       Pola Asuh Indulgent (Penelantaran)
Menelantarkan secara psikis.  Kurang memperhatikan perkembangan psikis anak.Anak dibiarkan berkembang sendiri.Orang tua lebih memprioritaskan kepentingannya sendiri karena kesibukan. Efek pola asuh indulgent terhadap perilaku belajar anak :
-          Anak dengan pola asuh ini paling potensial telibat dalam kenakalan remaja seperti penggunaan narkoba,  merokok   diusia dini dan tindak kriminal lainnya.
-          Impulsive dan agresif serta kurang mampu berkonsentrasi pada suatu aktivitas atau kegiatan.
-          Anak memiliki daya tahan terhadap frustrasi rendah.

d.      Pola Asuh Autoritatif (Demokratis)
Menerima anak sepenuh hati, memiliki wawasan kehidupan masa depan yang dipengaruhi oleh tinakan-tidakan masa   kini. Memprioritaskan kepentingan anak, tapi tidak ragu-ragu mengendalikan anak. Membimbing anak kearah kemandirian, menghargai anak yang memiliki emosi dan pikirannya sendiri. Efek pola asuh autoritatif terhadap perilaku belajar anak:
-           Anak lebih mandiri, tegas terhadap diri sendiri dan memiliki kemampuan
-          Mudah bekerjasama dengan orang lain dan kooperatif terhadap aturan.
-          Lebih percaya diri akan kemampannya menyelesaikan tugas-tugas.
-          Mantap, merasa aman dan menyukai serta semangat dalam tugas-tugas belajar.
-          Memiliki keterampilan sosial yang baik dan trampil
-          Tampak lebih kreatif dan memiliki motivasi berprestasi.
-          Menyepakati pola asuh yang paling efektif dalam keluarga adalah penting, karena pola asuh pada tahun-tahun awal kehidupan seseorang akan melandasi kepribadiannya dimasa datang. Perilaku dewasa dan ciri kepribadian  dipengaruhi oleh berbagai peristiwa yang terjadi  selama tahun-tahun awal kehidupan, artinya antara masa anak dan dewasa memiliki hubungan berkesinambungan.
Dengan mengetahui bagaimana pengalaman membentuk seorang individu, akan menjadikan kita lebih bijaksana dalam membesarkan anak-anak kita. Banyak masalah yang dihadapi disekolah  (agresi, ketidakramahan, negativistik, dan beragam gangguan kesulitan belajar) mungkin dapat dihindari bila kita lebih memahami perilaku anak dan sikap orang tua mempengaruhi anak-anaknya, serta bagaimana menanganinya pada usia dini.
Sebagai orang tua perlu mengetahui tugas-tugas perkembangan anak pada tiap usianya, untuk mempermudah penerapan pola pendidikan dan mengetahiu kebutuhan optimalisasi perkembangan anak . Tugas perkembangan adalah suatu tugas yang muncul pada saat atau suatu periode tertentu yang jika berhasil akan   menimbulkan rasa bahagia dan membawa kearah keberhasilan dalam melaksanakan tugas berikutnya, tetapi kalau gagal   akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitasn dalam menjalankan tugas-tugas berikutnya (Hurlock, 1991). Perkembangan manusia dikelompokan menjadi, Masa prenatal, Masa bayi, Masa kanak-kanak, Masa puber, Masa remaja,   Masa dewasa.
2.3 PERKEMBANGAN HUBUNGAN DENGAN TEMAN SEBAYA DAN SEKOLAH
A. Transisi dari Sekolah Dasar ke Sekolah Menengah
Transisi menuju sekolah menengah pertama berlangsung ketika banyak perubahan – di individu, keluarga dan sekolah – terjadi secara simultan. Perubahan-perubahan ini mencakuphal-hal yang berkaitan dengan pubertas dan citra tubuh; munculnya pemikiran operasional formal, termasuk perubahan dal kognisi sosial; meningkatnya tanggung jawab dan menurunnya ketergantungan pada orang tua; memasuki struktur selah yang lebih besar dan impersonal; perubahan dari satu guru ke banyak guru serta perubahan dari kelompok rekan sebaya yang kecildan homogeny menjadi kelompok rekan sebaya yang lebih besar dan heterogen. Di masa transisi dari sekolah dasar menuju sekolah menengah pertama, para siswa mengalami fenomena top-dog, perubahan situasi dari menjadi siswa paling tua, paling besar paling kuat disekolah dasar menjadi siswa paling muda, paling kecil, paling leah disekolah menengah.
Terdapat beberapa kritik yang menyatakan bahwa sekolah menengah pertama seharusnya memberikan aktivitas-aktivitas yang dapat menampung berbagai perbedaan individual dalam perkembangan biologis pada remaja awal. Pada tahun 1989 Carnegie Corporation mengeluarkan evaluasi yang sangat negative mengenai seolah menengah di AS. Mereka menyimpulkan bahwa sebagian besar remaja awal memasuki sekolah-sekolah yang yang padat dan impersonal; belajar dengan kurikulum yang tidak relevan; hanya mempercayai beberapa orang dewasa saja, serta kurang memiliki akses terhadap layanan kesehatan dan konseling. Dua puluh tahun kemudian, para ahli masih menemukan bahwa sekolah menengah pertama dipenjuru Negara membutuhkan perombakan besar jika ingin mendidik remaja secara efektif ( Eccles& Roeser, 2009; Elmore, 2009).
B. Sekolah Menengah Atas
Para kritikus menekankan rendahnya ekpektasi terhadap keberhasilan dan standart pebelajaran.Mereka juga berpendapat bahwa sering kali seklah menengah atas menerapkan sikap pasif dan bahwa seharusnya sekolah menciptakan berbagai jalur agar siswa dapat berhasil menemukan identitasnya.Banyak siswa lulusan sekolah menengah atas dengan keterampilan membaca, menulis, dan matematika yang tidak meadai termasuk para siswa yang melanjutkan kuiah namun harus mengikuti kelas remedial terlebih dahulu. Sejumlah siswa lain keluar dari sekolah menengah atas dan tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk memperoleh pekerjaan yang lauak apalagi menjadi warga Negara berpengetahuan.
Terdapat beberapa faktor, yang menyebabkan siswa putus sekolah (Jimmerson, 2009). Dalam sebuah penelitian hampir 50% dari siswa yang putus sekolah menyatakan sejumlah alasan yang terkait dengan sekolah, seperti tidak suka sekolah atau dikeluarkan dari sekolah ( Rumberger, 1983). 20% dari para siswa yang putus sekolah (namun 40% dari siswa latin) menyebutkan alasan ekonomi. Sepertiga dari siswa perepuan yang putus sekolah menyatakan alasan pribadi, seperti hamil atau menikah.
Menurut hasil penelitian, program yang paling efektif untuk mencegah putus sekolah enengah atas adalah menyediakan program membaca awal, tutoring, konseling, dan mentoring ( Lehr dkk, 2003). Jelas bahwa deteksi dini terhadap kesulitan siswa pada sekolah dan melibatkan siswa dengan sekolahnya dengan cara yang positive merupakan strategi penting untuk mengurangi jumlah siswa putus sekolah. 
1.      Aktivitas Ekstrakurikuler
Aktivitas ini biasanya dilakukan setelah jam sekolah dan didukung baik oleh sekolah maupun masyarakat. Peneliti menemukan bahwa, berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler terkalit dengan nilai yang lebih tinggi, keterlibatan sekolah, tidak putus sekolah, meningkatkan kemampuan meneruskan sekolah, meningkatkan harga diri dan juga menurunkan tingkat depresi, kenakalan remaja, dan penyalahgunaan obat terlarang ( fredricks & Eccles, 2010; Mahoney dkk, 2009; Parente & Mahoney, 2009)
2.      Service Learning
Service Learning adalah suatu bentuk pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan tanggung jawab sosial dan layanan kepada masyarakat. Tujuan penting dari service learning adalah bahwa reaja tidak terlalu berpusat pada diri sendiri  dan lebih termotivasi untuk menolong orag lain (Sherrod & Lauckhardt, 2009). Peningkatan perkembangan remaja terkait service learning mencakup nilai yang membaik, penetapan tujuan yang lebih baik, harga diri yang lebih tinggi, merasa lebih mampu berbuat sesuatu bagi orang lain, dan meningkatkan kecenderungan para remaja itu untuk menjadi sukarelawan dimasa depan ( Hart, Matsuba & atkins, 2008). Sebuah penelitian terbaru menemukan bahwa remaja perempuan lebih banyak berpartisipasi dalam service learning dibandingkan remaja laki-laki ( Webster& Worrell, 2008).
3.      Persahabatan
Bagi sebagian besar anak-anak menjadi popular bersama kawan sebayanya merupakan motivator yang kuat.Di awa masa remaja, remaja biasanya memilih untuk memiliki beberapa sahabat yang lebih intens dan akrab dibandingkan anak-anak kecil.
Selama masa remaja Harry Stack Sullivan (1953) berpendapat bahwa sahabat menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan sosial. Secara khusus, Sullivan menyatakan bahwa kebutuhan akan intimasi meningkat dimasa remaja awal, dan memotivasi remaja untuk mencari sahabat. Jika remaja gagal untuk menempa persahabatan yng akrab, mereka akan mengalami kesepian dan penghayatan akan martabat dirinya (self-worth) juga akan menurun. Remaja juga mengatakan bahwa mereka lebih banyak tergantung pada kawan-kawan dari pada orang tua untuk memenuhi kebutuhan mereka atas kebersamaan, ketentraman hati dan intimasi.
Karakteristik teman berpengaruh penting terhadap perkembangan remaj.Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa indeks prestasi teman-teman merupakan sebuah alat prediksi yang penting dari pencapaian positif disekolah dan juga terkait dengan rendahnya prilaku negative di area-area seperti pennyalahgunaan narkoba dan acting out.
C.    Kelompok Kawan Sebaya
Peneliti telah menemukan bahwa standart kawan sebaya serta pengaruk klik dan crowds menjadi semakin penting selama masa remaja.
a.       Tekanan dari kawan sebaya
Dibandingkan anak-anak remaja awal lebih banyak menyesuaikan diri terhadap standart kawan sebayanya.pada kelas delapan dan Sembilan, konformitas terhadap kawan sebaya – khususnya terhadap standar antisocial – mencapai puncaknya (Brown & Larson, 2009; Brown dkk, 2008). Dalam taraf ini remaja cenderung melakukan hal negativ seperti mencuri penutup roda mobil, membuat graffiti didinding atau mencuri kosmetikdari konter took bersama kawan sebayanya. Salah satu penelitian menemukan bahwa remaja  AS cenderung lebih menekan kawan sebayanya untuk menolk pengaruh orang tua dibandingkan remaja Jepang ( Rothbaum dkk, 2000).
Mitchell Prinstein dan koleganya ( Cohen& Prinstein, 2006; Pristein, 2007; Priestein & Dodge, 2008) telah melakukan riset yang mengungkapkan bahwa remaja yang tidak yakin akan identitas sosialnya, cenderung lebih menyesuaikan diri dengan kawan sebayanya. Ketidakyakinan ini sering kali meningkat selama masa transisi, seperti transisi di sekolah dan keluarga.Demikian halnya, kawn sebaya cenderung lebih menyesuaikan diri ketiak ada seseorang uang menurut mereka statusnya lebih tinggi.
b.      Klik & Crowds
Klik adalah kelompok kecil yang jumlah anggotanya berkisar dari 2 hingga 12 individu dan rata-rata 5 hingga 6 individu. Anggota klik biasanya memiliki kesamaan gender dan usia. Dimasa-masa sekolah menengah atas, persahabat dalam klik lebih bersifat heteroseksual dengan beberapa siswa senior, rata-rata dengan 2 gender berbeda dan 4 orang dengan gender yang sama dibandingkan dengan tidak ada atau satu gender berbeda atau lima orang atau lebih gender yang sama dikelas enam ( Buhrmester& Chong, 2009).
Klik dapat terbentuk karena remaja terlibat dalam aktifitas yang sama. Beberapa klik juga terbentuk karena persahabatan. Sejumlah remaja dapat membentuk klik karena mereka telah menghabiskan waktu bersama, berbagi minat yang sama, dan menikmati kebersamaan mereka.
Crowd bersifat lebih besar dari klik dan kurang personal.Keanggotaan remaja dalam sebuah crowd biasanya didasarkan pada reputasi.Banyak crowd yang diidentifikasi sesuai dengan aktifitas yang dilakukan oleh remaja (Brown, 2004).Reputasi yang didasarkan pada crowd sering muncul pertama kali diasa remaja awal dan biasanya menjadi kurang enonjol dimasa remaja akhir (Collins & Steinberg, 2006).















BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Perkembangan sosial adalah sebuah proses interaksi yang dibangun oleh seseorang dengan orang lain. Perkembangan sosial ini berupa jalinan interaksi anak dengan orang lain, mulai dari orang tua, saudara, teman bermain, hingga masyarakat secara luas. Perkembangan sosial adalah proses belajar mengenal normal dan peraturan dalam sebuah komunitas. Manusia akan selalu hidup dalam kelompok, sehingga perkembangan sosial adalah mutlak bagi setiap orang untuk di pelajari, beradaptasi dan menyesuaikan diri.
Hubungan sosial memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap tingkah laku individu.hubungan sosial individu dimulai sejak individu lahir, hubungan bayi dengan orang disekitarnya, terutama ibu, memiliki arti yang sangat penting.hubungan ini paling dirasakan kehangatannnya dan kemudian menjadi pengalaman hubungan sosial yang amat mendalam adalah melalui sentuhan ibu terhadap anak bayi, terutama saat menyusui.kasih saying ibu ini memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan jiwa anak di kemudian hari.
Perkembangan hubungan sosial anak semakin berkembang pada usia prasekolah, kira-kira 18 bulan. Pada usia ini dimulai dengan tumbuhnya kesadaran diri dan kepemilikannya, selain itu keinginan untuk mengeksplorasi lingkungan semakin besar. Pada masa ini hingga akhir masa sekolah ditandai dengan meluasnya lingkungan sosial. Selain dengan anggota keluarganya, anak juga mulai mendekatkan diri kepada orang-orang lain disekitarnya.dalam proses ini teman-teman sebaya dan guru-gurunya mempunyai peranan yang sangat penting bagi mereka.


3.2   SARAN 
Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini, dikarenakan kurangnya pengetahuan penulis dan kurangnya sumber tentang Psikososial. Maka penulis mengharapkan kritik dan saran pembaca agar dalam pembuatan makalah selanjutnya dapat lebih baik dari sebelumnya.
























DAFTAR PUSTAKA

Alimuddin Mahmud & Kustiah Sunarty.2006.Dasar-dasar Bimbingan & Konseling Keluarga.Makassar:Samudra Alif-MIM
Friedman M. Marilyn, 1998, Keperawatan keluarga-teori dan praktik, edisi 3, EGC, Jakarta.
Mutiah, Diana. 2010. Psikologi Bermain Anak Usia Dini. Cet ke-1. Jakarta: KENCANA.
Papalia, Diane dkk. 2015. Menyelami Perkembangan Manusia. Ed 12. Jakarta Selatan : Salemba Humanika
Santrock John.  2012. Perkembangan masa hidup ,Jakarta;Erlangga